Dana Ketahanan Pangan Digunakan Tanpa Musyawarah, Warga Ciawijapura Protes

CIREBON – Program budidaya melon yang dijalankan oleh Pemerintah Desa Ciawijapura Kecamatan Susukanlebak, Kabupaten Cirebon, dari dana ketahanan pangan BUMDes menjadi sorotan.

Pasalnya, program yang seharusnya membawa kemajuan bagi desa ini diduga dijalankan tanpa melalui prosedur musyawarah yang seharusnya ditempuh. Lahan sudah terlanjur digarap, sementara protes masyarakat terabaikan. Rabu (07/05/2025).

Bacaan Lainnya

Ketua Forum Warga Peduli Ciawijapura, Moch. Rosid mengungkapkan, kucuran dana ketahanan pangan yang sejatinya diperuntukkan bagi program-program yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat, tampaknya digunakan tanpa konsultasi yang memadai.

Warga desa merasa tidak pernah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan terkait program budidaya melon ini. Mulai dari pemilihan jenis tanaman, lokasi lahan, hingga mekanisme pengelolaan dan pembagian hasil, semua diputuskan secara sepihak oleh pemerintah desa.

“Prinsip Musyawarah telah diberangus, musyawarah hilang esensinya. Musyawarah hanya sebagai sarana pengesahan program yang diambil oleh Pemdes sehingga hilangnya transparansi,” ungkapnya.

‎Dikatakan Bo’im sapaan akrab Moch. Rosid, ketidaktransparanan ini tentunya menimbulkan berbagai pertanyaan di kalangan masyarakat.

Bagaimana rincian anggaran program ini? Siapa saja yang terlibat dalam pengelolaan program? Bagaimana mekanisme pembagian hasil panen? Pertanyaan-pertanyaan ini belum terjawab, menambah kecurigaan warga terhadap Pemdes.

“Musyawarah desa, sebagai forum tertinggi pengambilan keputusan di desa, seharusnya menjadi wadah bagi warga untuk menyampaikan aspirasi dan memberikan masukan terkait program-program pembangunan desa. Namun, dalam kasus budidaya melon ini, musyawarah desa seolah diabaikan,“ ujarnya.

Bo’im pun membeberkan, dalam persoalan musyawarah khusus ketahanan pangan jauh dari prinsip musyawarah, usulan dan saran warga diabaikan.

Musyawarah hanya sebagai pengesahan atas keputusan pemdes terkait alokasi dana desa ketahanan pangan yaitu budidaya melon. Akibatnya, muncul kekecewaan dan ketidak percayaan di kalangan masyarakat.

“Kondisi semakin diperparah dengan fakta bahwa lahan sudah terlanjur digarap, musyawarah desa baru dilaksanakan. Musyawarah khusus ketahanan pangan baru dilaksanakan tanggal 9 April 2025, akan tetapi lahan sudah digarap dan sudah dipasang mulsa dan siap ditanam melon,” bebernya.

Selanjutnya, Bo’im menyinggung musyawarah hanya sebagai sarana penetapan program yang sudah direncanakan Pemdes. Peran BPD sebagai wakil masyarakat justeru tidak melakukan tugas dan fungsinya.

Dalam musyawarah, BPD pasif dan seakan menyetujui begitu saja atas program ketahanan pangan yang dilakukan oleh Pemdes terkait budidaya buah melon. Meskipun Pemdes dalam hal Ini menyalahi prosedur sehingga suara masyarakat terpinggirkan.

“Jika boleh jujur, beberapa warga desa mengungkapkan kekhawatiran bahwa program budidaya melon ini justeru menguntungkan pihak-pihak tertentu. Sementara kepentingan masyarakat luas terabaikan. Ketidakjelasan mekanisme pengelolaan dan pembagian hasil panen juga menimbulkan potensi konflik di kemudian hari,” tegasnya.

Bahkan, pasca melakukan audensi menuntut tranparansi pengelolaan dana, hingga saat ini tidak bisa dipenuhi oleh Pemdes dan BUMDes.

Untuk itu, Forum Warga Peduli akan terus menuntut klarifikasi dan akuntabilitas dari pemerintah desa terkait program budidaya melon ini.

Mereka mendesak agar pemerintah desa segera menggelar musyawarah desa untuk menjelaskan secara transparan rincian program, mekanisme pengelolaan, dan pembagian hasil panen.

“Kami meminta agar BPD (Badan Permusyawaratan Desa) menjalankan fungsinya sebagai pengawas kinerja pemerintah desa. BPD diharapkan dapat menginvestigasi dugaan pelanggaran prosedur dalam program budidaya melon ini dan mengambil tindakan yang sesuai,” tuturnya.

Bo’im berharap persoalan budidaya melon di Desa Ciawijapura ini menjadi pelajaran berharga bagi seluruh pemerintah desa di Kabupaten Cirebon. Musyawarah desa bukan hanya sekadar formalitas, tetapi merupakan fondasi utama dalam tata kelola desa yang baik.

Tanpa musyawarah yang transparan dan partisipatif, program-program pembangunan desa akan kehilangan legitimasi dan berpotensi menimbulkan konflik di masyarakat.

“Pemerintah desa harus menyadari bahwa dana ketahanan pangan adalah amanah yang harus dikelola secara bertanggung jawab dan akuntabel. Keterlibatan aktif masyarakat dalam setiap tahapan program, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan, adalah kunci untuk memastikan bahwa program tersebut benar-benar memberikan manfaat bagi seluruh masyarakat desa,” imbuhnya.

Pos terkait