CIREBON – Sosok ulama pejuang dari Buntet Pesantren, Cirebon, KH Abbas Abdul Jamil, dinilai sebagai salah satu tokoh paling kuat secara sejarah untuk mendapatkan gelar Pahlawan Nasional. Pasalnya, jejak perjuangan KH Abbas tak lagi sebatas cerita lisan atau penghormatan simbolik saja.
Apalagi, sumber primer yang menguatkan peran Kiai Abbas dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, terhimpun dengan jumlah paling lengkap dibanding dengan tokoh-tokoh lain.
“Sumber primer tentang KH Abbas Abdul Jamil adalah yang terbanyak yang pernah saya temukan selama menjadi anggota hingga kini ketua TP2GP (Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat,red),” kata Prof Usep Abdul Matin, dalam gelaran Istighosah dan Seminar Nasional bertema pengusulan KH Abbas Abdul Jamil sebagai Pahlawan Nasional, di Pendopo Kabupaten Cirebon.
Usep mengingatkan bahwa dukungan publik tetap penting. Pengusulan gelar Pahlawan Nasional tidak semata-mata administratif, tetapi juga memerlukan dorongan moral dari masyarakat, termasuk melalui doa bersama atau istighosah.
“Total terdapat 67 sumber primer yang membuktikan kiprah Kiai Abbas, baik dalam bidang pendidikan pesantren, pergerakan kemerdekaan, maupun perlawanan terhadap kolonialisme,” katanya.
Tak hanya dari dalam negeri saja, sejumlah dokumen juga tercatat dalam arsip luar negeri. Seperti Belanda dan bahkan media internasional seperti The New York Times.
“Sumber-sumber ini mencatat peristiwa-peristiwa nyata yang diikuti Kiai Abbas pada era 1920-an hingga 1940-an, termasuk pemberitaan di media seperti Swara Nahdlatoel Oelama dan Kedaulatan Rakjat,” kata dia.
Dalam ilmu sejarah, tanpa dokumen, menurutnya berarti tidak ada sejarah. Tapi dalam kasus Kiai Abbas, menurutnya justeru dokumennya paling banyak. Ini bukan sekadar wacana, tapi fakta yang teruji.
“Dan tahun sebelumnya, pengusulan Kiai Abbas sempat terkendala karena keterbatasan data primer, yang kala itu hanya lima. Namun dengan kerja keras berbagai pihak, kini data itu melonjak drastis, menjadikannya salah satu kandidat terkuat,” jelasnya.
Sementara itu, dalam tausiyahnya, Prof KH Asep Saifuddin Chalim menekankan pentingnya mengiringi ikhtiar ilmiah ini dengan ketulusan spiritual.
“Tawakkal bukan berarti diam. Tawakkal berarti berjuang sepenuh tenaga dan doa sepenuh hati. Buku tentang Kiai Abbas bisa selesai karena Allah membimbing lewat usaha keras kita,” ujarnya.
Sebagai putra daerah yang lahir di Setu, Plered, Cirebon, dan tumbuh di Majalengka, KH Asep merasa memiliki tanggung jawab moral untuk turut mengangkat nama besar KH Abbas.
Dirinya berharap sosok Kiai Abbas bisa menjadi simbol kebanggaan masyarakat Cirebon, Jawa Barat, dan bangsa Indonesia secara luas.
“Cirebon ini tanah besar, dan sudah saatnya memiliki pahlawan nasional yang bisa dibanggakan di tingkat nasional,” katanya.