“Kalau melihat formulirnya, ya seolah-olah ini pembelian. Tapi dibalut dengan istilah sewa. Padahal, tidak masuk akal kalau disebut sewa tapi formatnya kavling,” jelasnya.
Ia menegaskan, jika benar sewa, maka harus ada kejelasan pengelolaan dana: apakah masuk ke kas desa, BUMDes, atau pihak lain.
“Harusnya panitia juga dibentuk dengan SK resmi, bukan sekadar hasil musyawarah desa. Tapi di sini tidak jelas. Bahkan ujungnya masyarakat disinyalir akan diarahkan mendapat hak seperti sertifikat,” ungkapnya.
Yosu juga menyinggung adanya pola serupa di lokasi lain dekat SPBU Desa Bendungan, di mana sekitar 2 hektare lahan desa sudah dibangun rumah warga, tetapi hanya diberi SPPT, bukan sertifikat resmi.
“SPPT-nya masih atas nama pemerintah atau desa, bukan warga. Tapi warga sudah keluar biaya besar. Ini pola yang diduga akan diulang kembali,” katanya.
Presidium Obor Cirtim menekankan bahwa tanah kas desa bukan untuk diperjualbelikan secara individu. Menurut aturan, jika ingin diubah peruntukannya harus melalui mekanisme tukar guling atau alih fungsi yang disetujui dinas terkait.