Dalam hal ini, persoalan utama yang membelenggu PGPP adalah status fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) yang belum diserahkan pihak pengembang kepada Pemda.
“Karena upaya komunikasi melalui pemerintah desa tak membuahkan hasil. Kami pun memutuskan mengetuk pintu legislatif,” katanya.
Kondisi ini, kata dia, bukan hanya soal infrastruktur saja, akan tetapi wujud nyata dari ketidakadilan pembangunan.
“Dan kami, bukan berarti ingin menuntut berlebihan. Kami hanya ingin negara hadir. Sejak 1997 kami taat membayar pajak, tapi tak pernah merasakan manfaatnya,” teganya.
Warga PGPP tak lagi menuntut kemewahan. Mereka, kata dia, hanya ingin infrastruktur jalan yang layak, penerangan, dan rasa aman.
“Bagi kami, ini bukan sekadar infrastruktur, ini soal martabat, soal hak yang seharusnya tidak perlu diperjuangkan selama itu,” katanya.
Dalam audiensi yang difasilitasi oleh Ketua Komisi III DPRD Cirebon, Anton Maulana dan dipimpin Wakil Ketua DPRD Nana Kencanawati, harapan mulai terlihat. Hadir pula perwakilan pengembang, Romi, serta unsur pemerintah desa dan kecamatan.