“Nisan bukan hanya penanda makam,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa gaya nisan dari Kesultanan Aceh masa Iskandar Muda bahkan menyebar hingga Asia Tenggara, menjadi bukti jejaring maritim yang dahulu begitu kuat.
“Menyimpan simbol-simbol religius, nilai filosofis, serta ornamen estetika yang mencerminkan hubungan manusia dengan Tuhan,” ujarnya.
Seno juga memaparkan alasan dipilihnya Cirebon sebagai tuan rumah. Dengan warisan arkeologi Islam yang melimpah, keraton-keratonnya, serta manuskrip Syattariyah yang hidup di pesantren maupun lingkungan keraton, Cirebon merupakan simpul penting dalam sejarah politik dan spiritual Islam abad ke-15 dan 16.
“Cirebon adalah akar bagi lahirnya kesultanan-kesultanan Islam di Jawa,” katanya.
Puncak malam pembukaan hadir lewat Pidato Kebudayaan Dr. Helene Njoto, sejarawan Prancis–Indonesia, yang memberikan penghormatan kepada Uka Tjandrasasmita melalui telaahnya atas situs Sendang Duwur.
Ia membacakan kembali bab-bab sejarah yang tersimpan pada mimbar kayu, batu nisan, gapura, dan ukiran-ukiran yang pernah disentuh Uka dalam penelitiannya.








