Karenanya, Pengasuh Pondok Pesantren Darul Fikr Arjawinangun itu menyampaikan perlunya para ulama dapat lebih terbuka dalam memahami teks. Ia mengajak bergeser dari tekstualisme ke kontekstualisme, dari tafsir ke ta’wil, dari langit ke bumi.
“Sudah saatnya kita memahami teks keagamaan secara lebih terbuka,” ujar Pengasuh Pondok Pesantren Darul Fikr, Arjawinangun, Cirebon itu.
Sementara itu, Kiai Moqsith menjelaskan bahwa kontekstualisasi kitab kuning sudah dibicarakan di Watucongol, Magelang pada tahun 1988, sebelum Muktamar NU di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.
Ia juga menjelaskan bahwa di dalam muamalah, terbuka ijtihad. Banyak hal yang tidak tertuang dalam teks-teks nas sehingga perlu diinisiasi fiqih baru tanpa meninggalkan nas sebagai pijakannya. “Harus diinisiasi fiqih baru jika tidak ada penjelasan turats,” kata pengajar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Ia mencontohkan batas teritorial negara yang baru muncul dan tidak terdapat dalam teks-teks turats. Padahal di zaman Nabi Muhammad saw tidak ada batasan teritorial. Hal tersebut merupakan realitas. Karenanya, ia menyebut bahwa realitas dan teks merupakan simbiosis mutualisme, teks melahirkan realitas dan realitas melahirkan teks baru.