Dani juga menyebutkan, dalam praktiknya, Silpa sering muncul dari kegiatan yang belum selesai karena waktu mepet di akhir tahun anggaran. Dalam kondisi seperti itu, sisa dana akan masuk ke kas desa sebagai Silpa, dan bisa digunakan kembali di tahun berikutnya.
“Misalnya kegiatan nilainya Rp200 juta, tapi hanya bisa dikerjakan Rp100 juta, sisanya ya masuk Silpa. Tahun berikutnya direncanakan ulang. Ini justru bentuk tertib administrasi,” ujarnya.
DPMPD juga mengingatkan agar pemerintah desa tidak memaksakan serapan anggaran demi mengejar realisasi semata. Langkah terburu-buru di akhir tahun justru rawan menimbulkan masalah, baik dari sisi kualitas pekerjaan maupun administratif.
Lebih jauh, Dani mengajak masyarakat untuk lebih memahami mekanisme keuangan desa agar tidak mudah curiga terhadap proyek yang sumber dananya berasal dari Silpa.
“Kalau ada papan proyek tertulis dana Silpa, bukan berarti itu pembangunan sisa atau tidak sah. Itu bisa jadi hasil efisiensi tahun sebelumnya yang direncanakan kembali secara legal,” ucapnya.